Pendidikan Karakter Butuh Keteladanan
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta itu menjelaskan, karakter adalah sesuatu yang dibentuk,
dikonstruksi, seiring dengan berjalannya waktu dan semakin berkembangnya
seorang anak.
“Anak itu ibarat kanvas putih bersih.
Diberi goresan hitam, ia akan menjadi hitam. Diberi goresan kuning, ia
akan menjadi kuning. Atau yang lebih tepat, anak itu ibarat lempung.
Dan kita, orang-orang dewasa di sekitarnya, adalah yang membentuk
lempung itu. Akan berbentuk apa lempung itu, hal itu tergantung mereka
yang membentuknya,” kata Abdul Munir Mulkhan saat dihubungi wartawan,
Jumat (12/9).
Pernyataan Abdul Munir Mulkhan ini
berkaitan dengan perbincangan tentang pendidikan karakter yang menjadi
fokus kurikulum 2013. Perbicangan ini berkaitan dengan bagaimana dan
cara yang harus dilakukan agar anak didik dari SD hingga SMU
menginternalisasi, menjalankan, dan terus menjadikan pegangan dalam
kehidupan ke-18 karakter yang ingin dikembangkan dalam kurikulum 2013
itu.
Ada 18 karakter yang hangat dibahas. Masing-masing; religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta Tanah Air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.
Ada 18 karakter yang hangat dibahas. Masing-masing; religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta Tanah Air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.
Pria yang menulis buku Revolusi
Kesadaran dalam Serat-Serat Sufi (2003) ini mengatakan bahwa kurang
tepat menjalankan pendidikan karakter ini semata-mata dengan bersandar
pada pendidikan agama, sebagaimana yang banyak dilakukan di berbagai
sekolah. Menurutnya, agama penting namun ia hanya akan berfungsi
sebagai kontrol internal pada diri sang anak.
Praktisi pendidikan yang akrab dengan
dunia sufisme dan tasawuf ini menambahkan yang tak kalah penting
dibanding agama adalah lingkungan pendidikan sang anak. Selain
lingkungan keluarga di mana orangtua dan orang yang lebih dewasa menjadi
teladan, perlu juga ada teladan baik dari lingkungan sekolah sang anak.
Jadi para guru dan orang-orang yang terkait dengan administrasi sekolah
juga harus juga memberikan contoh perilaku yang baik kepada sang anak.
“Ubah lingkungan di mana sang anak itu
tumbuh jadi lingkungan yang memberi teladan baik. Tempatkan ia dalam
lingkungan yang memunculkan sifat-sifat baik dalam dirinya. Lingkungan
inilah yang terutama membentuk lempung (anak) itu,” kata pria yang sudah
akrab dengan dunia pendidikan selama kurang lebih 50 tahun ini.
Dikatakan pula Munir Mulkhan bahwa dalam
membangun karakter diperlukan juga semacam reward and punishment untuk
sang anak, terutama di sekolah. Jika ia berlaku baik, beri semacam
“hadiah” apa pun bentuknya, entah itu pujian atau apa pun. Jika ia
berlaku buruk, beri juga ia hukuman.
"Lingkungan dan reward and punishment
ini nantinya akan menjadi semacam kontrol eksternal (sosial) pada diri
sang anak, yang lazimnya jauh lebih efektif ketimbang sekadar kontrol
internal dalam membentuk karakter baik anak," pungkasnya. (awa/jpnn)